Meninggalnya bayi Dera Nur Anggraeni cukup menghentak saya, dan juga beberapa teman-teman Indonesia lain. Kami -sama dengan Anda yang juga mungkin ikut terhenyak- tidak punya hubungan keluarga dengan Dera dan tidak sempat mengenalnya.
Bayi yang belum berusia sepekan itu meninggal setelah ditolak oleh delapan rumah sakit. Sedang kembarannya, Dara Nur Anggraini -setelah kasus Dera menjadi isu nasional- kini dirawat dengan baik di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat.
Keluarga Dera dan Komnas Anak -seperti diberitakan berbagai media- mengatakan penolakan atas perawatan Dera karena keluarga tidak bisa menyiapkan uang muka sekitar Rp10 sampai Rp15 juta.
Pihak rumah sakit menyatakan bukan uang yang jadi alasan, tapi tidak adanya ruang khusus merawat bayi, yang disebut NICU, yang tersedia. Mana yang benar? Tak ada yang tahu dan mungkin tidak akan pernah ada yang tahu.
Akar penyebab tidak jelas - Tapi saya tersentak lagi ketika mendengar Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta menggelar konferensi pers yang membantah soal uang muka itu. Dalam konferensi pers itu sama sekali tidak ada upaya untuk memastikan lebih lanjut apa sebenarnya penolakan dari rumah sakit itu.
Saya yakin jika hal itu terjadi di sebuah negara -yang menghargai nyawa manusia, apalagi manusia generasi masa depan- maka yang pertama diperlukan adalah pembentukan sebuah komisi independen.
Komisi misalnya akan mencek silang pernyataan dari masing-masing pihak, menelusuri percakapan telepon yang terjadi pada masa itu, dan memanggil para saksi yang bercerita tentang pengalaman mereka selama ini jika ingin dirawat di rumah sakit. Maka akan diketahui penyebab sebenarnya? Bukan sekedar bantahan sepihak.
Mencari pemecahan? - Kenapa penyebab sebenarnya perlu? Dari situlah bisa diketahui jalan keluarnya. Apakah akan menindak rumah sakit yang menolak, misalnya, sehingga memberi efek jera yang berantai dan hal yang sama tidak akan terulang lagi. Atau peralatannya kurang, sehingga bisa ditambah.
Seandainya penyebabnya adalah uang muka, maka mau ditambah sejuta lagi pun peralatan NICU tidak akan memecahkan masalah karena tanpa uang tidak akan diterima. Begitu juga jika ditindak rumah sakitnya tidak akan ada gunanya karena memang peralatan tidak cukup. Sederhana saja. Itu cara berpikir yang sungguh tidak memerlukan kecerdasan setingkat Albert Einstein. Memang memerlukan tekad dan kesungguhan.
Departemen Kesehatan, selain berjanji akan menambah NICU, juga akan mengembangkan sistem. Maksudnya akan ada sebuah sistem kerja sama sehingga bisa diketahui dengan cepat mana rumah sakit yang memiliki NICU yang tersedia dan mana yang penuh. Tapi kalau soalnya minta uang muka, maka sistem itu tak akan banyak gunanya. Akar persoalannya apa? Itu yang menurut saya -dan sungguh amat yakin soal ini- yang perlu dijawab dulu.
Cara Jokowi - Kita semua belum tahu kapan NICU tambahan dan sistem yang dimaksud itu akan benar-benar terwujud. Dan ditengah-tengah berita itu muncul langkah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi, untuk menambah rumah sakit kelas tiga bagi berpenghasilan rendah.
Caranya bukan membangun gedung atau kamar baru. Kalau dengan cara itu maka mungkin sama saja dengan menunggu NICU tambahan dan pembangunan sistem. Tapi Jokowi memutuskan RSU Daerah di Jakarta agar mengubah sebagian kelas dua menjadi kelas tiga. Di RSUD Tarakan di Jakarta Pusat, misalnya, mengubah 75% kelas menjadi kelas tiga dan itu hanya membutuhkan waktu dua hari kata Jokowi.
Mantan Gubernur Solo itu juga menegaskan akan menindak tegas jika ada RUSD di wilayahnya yang menolak pasien miskin yang tak punya uang. Jauh di negara rantau di Inggris, kami jelas mengikuti berita dari Indonesia dengan seksama, dan kadang saya merasa pemberitaan tentang Jokowi kadang terasa terlalu banyak. Tapi itu urusan masing-masing media lah. Bahkan sudah mulai muncul wacana agar dia dicalonkan presiden.
Politik bukan bidang saya, tapi pendekatan Jokowi dalam pascakematian Dera saya kira boleh dipuji. Satu karena langsung bisa diwujudkan dan juga karena berprinsip memperbanyak layanan bagi kaum miskin.
Dan saya jadi semakin mengerti kenapa sebuah majalah internasional bergengsi terbitan London, The Economist, akhir Januari lalu menulis 'tidak mengherankan kalau Joko Widodo disebut sebut berpeluang menjadi presiden Indonesia masa depan.' Dalam edisi 26 Januari, majalah itu sempat-sempatnya memberikan perhatian untuk mengulas Jokowi dan menyebutnya sebagai Tukang Membereskan yang berkarakter sederhana dan populis.
Saya bukan pendukung Jokowi -atau belum- dan blog ini jelas bukan forum kampanye politik. Hanya saja, Indonesia -sungguh mati- perlu tukang yang membereskan, yang sederhana, dan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. http://www.bbc.co.uk/blogs/indonesia/london/2013/02/bayi-dera-dan-jokowi.html
Post a Comment