Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menghadiri acara Rakernis Fungsi Lalu Lintas 2013 di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2013). Rapat ini membahas cara untuk memberikan keamanan dan kelancaran lalu lintas menjelang Pemilu tahun 2014. | KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA
Penulis :IhsanuddinSenin, 26 Agustus 2013 | 12:08 WIB
Sekarang Momentum Jokowi, Jangan Tunggu 2019!
Joko Widodo (Jokowi) dianggap akan kehilangan momentum jika memilih untuk menyelesaikan pengabdiannya sebagai Gubernur DKI Jakarta baru berpikir ke kancah nasional sebagai calon presiden. Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 bersama pasangannya, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, keadaan politik pada Pemilihan Presiden 2019 akan jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Hal ini disampaikan Indria menanggapi semakin melejitnya popularitas Jokowi dalam survei sejumlah lembaga sebagai kandidat capres pada Pemilihan Presiden 2014.
"Survei itu bicara sekarang, enggak usah tunggu lima tahun lagi. Satu tahun saja bisa berubah keadaannya," kata Indria.
Sementara itu, pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Moloek juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, popularitas Jokowi memang tidak akan berubah terlalu drastis pada 2019 nanti. Namun, mereka yang berkuasa pada 2014 nanti bisa saja menjatuhkan Jokowi karena dianggap sebagai lawan politik.
"Yang saya takutkan bisa saja kan presiden yang terpilih 2014 nanti menjatuhkan Jokowi karena takut kalah bersaing?" kata Hamdi.
Terakhir, berdasarkan survei Litbang Kompas, Jokowi kembali menduduki peringkat pertama dengan 32,5 persen. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari semula 17,7 persen pada Desember 2012 lalu. Meski demikian, Jokowi selalu menolak berkomentar saat ditanya wartawan terkait kemungkinannya maju sebagai capres. Ia mengaku masih ingin mengurus Jakarta.
Jokowi melesat
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan popularitas Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan dengan sosok lainnya mengindikasikan kian menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran generasi kepemimpinan politik nasional baru yang tidak bersifat artifisial. Kesimpulan demikian tampak dari dua hasil survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden—calon pemilih dalam Pemilu 2014—yang terpilih secara acak di 33 provinsi.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, keadaan politik pada Pemilihan Presiden 2019 akan jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Hal ini disampaikan Indria menanggapi semakin melejitnya popularitas Jokowi dalam survei sejumlah lembaga sebagai kandidat capres pada Pemilihan Presiden 2014.
"Survei itu bicara sekarang, enggak usah tunggu lima tahun lagi. Satu tahun saja bisa berubah keadaannya," kata Indria.
Sementara itu, pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Moloek juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, popularitas Jokowi memang tidak akan berubah terlalu drastis pada 2019 nanti. Namun, mereka yang berkuasa pada 2014 nanti bisa saja menjatuhkan Jokowi karena dianggap sebagai lawan politik.
"Yang saya takutkan bisa saja kan presiden yang terpilih 2014 nanti menjatuhkan Jokowi karena takut kalah bersaing?" kata Hamdi.
Terakhir, berdasarkan survei Litbang Kompas, Jokowi kembali menduduki peringkat pertama dengan 32,5 persen. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari semula 17,7 persen pada Desember 2012 lalu. Meski demikian, Jokowi selalu menolak berkomentar saat ditanya wartawan terkait kemungkinannya maju sebagai capres. Ia mengaku masih ingin mengurus Jakarta.
Jokowi melesat
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan popularitas Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan dengan sosok lainnya mengindikasikan kian menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran generasi kepemimpinan politik nasional baru yang tidak bersifat artifisial. Kesimpulan demikian tampak dari dua hasil survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden—calon pemilih dalam Pemilu 2014—yang terpilih secara acak di 33 provinsi.
Survei terbaru yang dilakukan Kompas menunjukkan tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012.
Hasil survei menunjukkan, semakin besar proporsi calon pemilih yang jelas menyatakan pilihannya terhadap sosok pemimpin nasional yang mereka kehendaki. Sebaliknya, semakin kecil proporsi calon pemilih yang belum menyatakan pilihan dan semakin kecil pula proporsi calon pemilih yang enggan menjawab (menganggap rahasia) siapa sosok calon presiden yang ia harapkan memimpin negeri ini.
Besarnya proporsi pemilih yang sudah memiliki preferensi terhadap sosok calon presiden secara signifikan hanya bertumpu kepada lima nama, yaitu Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Pada survei terakhir (Juni 2013), lima sosok itu mampu menguasai dua pertiga responden. Sisanya (18,2 persen) tersebar pada 16 sosok calon presiden lainnya.
Dibandingkan dengan survei pada Desember 2012, ruang gerak penguasaan ke-16 sosok "papan bawah" popularitas ini relatif stagnan, yang menandakan kecilnya peluang lonjakan mobilitas setiap sosok ke papan atas (lihat grafik). Dari kelima sosok yang berada pada papan atas popularitas capres, kemunculan Jokowi sebagai generasi baru dalam panggung pencarian sosok pemimpin nasional menarik dicermati. Ia langsung menempati posisi teratas dengan selisih yang terpaut cukup jauh dengan keempat calon lain yang namanya sudah menasional selama ini.
Saat ini, tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012. Di sisi lain, tingkat penolakan responden terhadap dirinya tampak minim dan semakin kecil. Dari seluruh responden, yang secara ekstrem tidak menghendaki dirinya menjadi presiden hanya di bawah 5 persen.
Sebaliknya, saat ini basis dukungan terhadap Jokowi makin luas. Ia makin diminati oleh beragam kalangan, baik dari sisi demografi, sosial ekonomi, maupun latar belakang politik pemilih. Dari sisi demografi, misalnya, dukungan dari kalangan beragam usia, jenis kelamin, ataupun domisili responden Jawa maupun luar Jawa bertumpu kepadanya.
Sosoknya juga populer tidak hanya bagi kalangan ekonomi bawah, tetapi juga kalangan menengah hingga atas. Ia pun diminati oleh beragam latar belakang pemilih partai politik, tidak hanya tersekat pada para simpatisan PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung. Bagi responden pendukungnya, paduan antara karakteristik persona yang dimiliki dan kompetensi yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi alasan utama mereka menyandarkan pilihan. Ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan yang ditunjukkan Jokowi menjadi modal kepribadian yang memikat publik.
Sisi kepribadian tersebut berpadu dengan kompetensi yang ditunjukkan selama ini dalam langkah politiknya. Ia tidak bersifat elitis, gemar turun langsung memotret persoalan. Sebagai pemimpin lokal, ia produktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan mencoba konsisten menyelesaikan permasalahan. Paduan antara sosok kepribadian dan tindakannya yang dinilai publik tidak artifisial ini mendapatkan tempat yang tepat di saat bangsa tengah merindukannya.
Source : megapolitan.kompas.com/
Besarnya proporsi pemilih yang sudah memiliki preferensi terhadap sosok calon presiden secara signifikan hanya bertumpu kepada lima nama, yaitu Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Pada survei terakhir (Juni 2013), lima sosok itu mampu menguasai dua pertiga responden. Sisanya (18,2 persen) tersebar pada 16 sosok calon presiden lainnya.
Dibandingkan dengan survei pada Desember 2012, ruang gerak penguasaan ke-16 sosok "papan bawah" popularitas ini relatif stagnan, yang menandakan kecilnya peluang lonjakan mobilitas setiap sosok ke papan atas (lihat grafik). Dari kelima sosok yang berada pada papan atas popularitas capres, kemunculan Jokowi sebagai generasi baru dalam panggung pencarian sosok pemimpin nasional menarik dicermati. Ia langsung menempati posisi teratas dengan selisih yang terpaut cukup jauh dengan keempat calon lain yang namanya sudah menasional selama ini.
Saat ini, tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012. Di sisi lain, tingkat penolakan responden terhadap dirinya tampak minim dan semakin kecil. Dari seluruh responden, yang secara ekstrem tidak menghendaki dirinya menjadi presiden hanya di bawah 5 persen.
Sebaliknya, saat ini basis dukungan terhadap Jokowi makin luas. Ia makin diminati oleh beragam kalangan, baik dari sisi demografi, sosial ekonomi, maupun latar belakang politik pemilih. Dari sisi demografi, misalnya, dukungan dari kalangan beragam usia, jenis kelamin, ataupun domisili responden Jawa maupun luar Jawa bertumpu kepadanya.
Sosoknya juga populer tidak hanya bagi kalangan ekonomi bawah, tetapi juga kalangan menengah hingga atas. Ia pun diminati oleh beragam latar belakang pemilih partai politik, tidak hanya tersekat pada para simpatisan PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung. Bagi responden pendukungnya, paduan antara karakteristik persona yang dimiliki dan kompetensi yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi alasan utama mereka menyandarkan pilihan. Ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan yang ditunjukkan Jokowi menjadi modal kepribadian yang memikat publik.
Sisi kepribadian tersebut berpadu dengan kompetensi yang ditunjukkan selama ini dalam langkah politiknya. Ia tidak bersifat elitis, gemar turun langsung memotret persoalan. Sebagai pemimpin lokal, ia produktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan mencoba konsisten menyelesaikan permasalahan. Paduan antara sosok kepribadian dan tindakannya yang dinilai publik tidak artifisial ini mendapatkan tempat yang tepat di saat bangsa tengah merindukannya.
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
Source : megapolitan.kompas.com/
Post a Comment