- Mempetisi Fraksi-Fraksi dan Pimpinan DPR.
Tolak Revisi RUU MD3! Ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Dimalam sebelum PEMILU, saat kita semua sedang menanti-nanti hari dimana kita sebagai rakyat punya hak untuk ber-SUARA dan menentukan nasib bangsa, sebagian besar anggota DPR RI telah bersepakat untuk mengubah Undang-Undang yang menjadi dasar berdemokrasi dan prinsip keterwakilan rakyat di DPR RI.
Berdasarkan analisa dari beberapa dokumen dan pemberitaan media yang tersedia secara publik (sampai dengan 10 Juli 2014), revisi atas Undang-Undang MD3 No. 27 Tahun 2009, memiliki 4 poin penting:
1. Mengubah ketentuan kuorum dalam hak untuk menyatakan pendapat dari 3/4 menjadi 2/3. (Menurut pernyataan Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014, tetapi tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
2. Anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa untuk penyidikan tindak pidana (termasuk kasus korupsi) tanpa izin Presiden. (Menurut pernyataan dalam Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014; Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU MD3 di Kompas 6 Juli 2014 dan Berita Satu 8 Juli 2014, tetapi tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
3. Wakil partai yang menjadi pemenang suara terbanyak tidak lagi otomatis menjadi Ketua DPR, melainkan akan dipilih dengan suara terbanyak berdasarkan paket yang bersifat tetap. (Menurut pemberitaan di perbagai media nasional, dan menurut Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
4. Dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan, khususnya terkait dengan Alat Kelengkapan DPR (AKD). (Menurut pernyataan Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014, dan betul tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
Berdasarkan Naskah terbaru dari Revisi Undang-Undang MD3 yang di-upload pagi ini (11 Juli 2014) di situs http://parlemen.net, tampaknya poin 1 dan 2 tidak lagi tercantum dalam naskah yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR. Pun begitu, poin ke 3 dan 4 tetap menjadi masalah karena melanggar prinsip keterwakilan rakyat di DPR RI.
Apa akibatnya:
DPR mengganti Ketentuan yang mengatur Keterwakilan rakyat di posisi Pimpinan DPR RI setelah kita memilih dalam Pileg 2014. Kenapa? Karena rakyat memilih partai di pemilihan legislatif, dengan dasar UU MD3 versi sebelum direvisi - dimana rakyat mengasumsikan bahwa wakil dari partai pemenanglah yang akan menjabat Ketua DPR dan posisi pimpinan DPR lainnya. Prinsip keterwakilan ini sudah pernah dimenangkan di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011 karena sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mempersamakan kedudukan semua warga negara sehingga penentuan komposisi kepemimpinan DPR/DPRD secara proporsional berdasarkan urutan perolehan kursi masing-masing Parpol peserta Pemilu di seluruh Indonesia maupun daerah yang bersangkutan. Prinsip keterwakilan ini adalah ketentuan yang adil, karena perolehan peringkat kursi juga menunjukkan konfigurasi peringkat pilihan rakyat Indonesia.
Revisi UU MD3 justru mengubah prinsip keterwakilan rakyat ini dengan menggunakan musyawarah mufakat yang bila tidak terpenuhi, dilakukan dengan sistem voting berdasarkan paket yang bersifat tetap. Hal ini, malah memperbesar peluang politik transaksional yang selama ini kita lawan.
Karena hilangnya prinsip keterwakilan di atas, akibat berikutnya adalah semakin sempitnya peran perempuan di posisi strategis di DPR. Sebagai catatan, dengan adanya ketentuan mengenai kewajiban keterwakilan perempuan, maka perempuan dapat melawan stigma dan diskriminasi di kehidupan bermasyarakat dan mendapatkan tempat yang strategis di Alat Kelengkapan DPR (AKD). Revisi UU MD3 justru menghapus ketentuan ini sebagai akibat dari hilangnya prinsip keterwakilan, dan ini berarti mengurangi keterwakilan dan peranan perempuan dalam proses politik di parlemen.
Dengan sistem yang diatur dalam Revisi UU MD3 ini, suara rakyat menjadi tidak berpengaruh dalam keterwakilan dalam komposisi kepemimpinan DPR hingga ke level AKD yang sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR RI. Suara kita rakyat biasa yang sudah memilih pada Pileg 2014 tidak lagi ada harganya.
Betapa cerdiknya mereka yang mengajukan Revisi UU MD3 secara diam-diam tanpa pengawasan dari rakyat, karena di saat yang bersamaan media sedang disibukkan dengan pembahasan PEMILU. Revisi UU MD3 ini terkesan dipaksakan untuk disahkan oleh DPR RI lewat Sidang Paripurna pada malam menjelang Pilpres 2014 (8 Juli 2014). Fraksi PDIP, PKB dan Hanura telah bersuara dan meminta penundaan pengesahan UU ini sampai setelah Pilpres 2014 berlangsung agar dapat mempelajari lebih dalam - namun permintaan ini ditolak. Sebagian besar kelompok elit di DPR RI tetap memaksakan diri untuk mengesahkan Revisi UU MD3, walaupun Fraksi PDIP, PKB dan Hanura memutuskan untuk melakukan walk-out.
MAKA DARI ITU:
1. Kami tidak bisa menerima jika ada kelompok elit di DPR RI yang memaksakan dan secara tidak transparan mengganti Undang-Undang yang begitu krusial bagi prinsip keterwakilan dan demokrasi di Indonesia seakan hanya untuk mempermudah jalan mereka dalam mengontrol kekuasaan di DPR RI – rakyat dalam hal ini, seolah tidak lagi punya suara.
2. Kami tidak bisa menerima jika sebagian besar rakyat Indonesia tidak diberitahu adanya masalah sebesar ini - padahal ini terjadi di masa-masa di mana kampanye berlangsung dan wakil rakyat seharusnya aktif bicara pada rakyat soal masalah ini.
3. Kami menolak jika hanya dilibatkan saat wakil rakyat mau dipilih lewat Pileg 2014, tapi tidak dilibatkan saat ada perubahan dalam prinsip keterwakilan dan demokrasi yang mendasar dan strategis seperti Revisi UU MD3 ini.
4. Kami menginginkan wakil-wakil rakyat yang menghargai suara rakyat yang memilihnya, bukan wakil rakyat yang tidak menghargai suara rakyat yang memilihnya.
5. Sebagai perwakilan masyarakat sipil, kami meminta kepada Fraksi dan Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi dan Pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi dan Pimpinan Partai Hanura, dan Pimpinan Partai Nasdem untuk berkonsolidasi dan memperjuangkan penolakan atas Revisi UU MD3 melalui judicial review di Mahkamah Konsititusi.
Kita tidak bisa berhenti bersuara hanya karena Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 sudah kita lewati. Kita tidak bisa lagi bersikap acuh tak acuh pada politik. Sudah saatnya kita membuka mata dan turun tangan dalam mengawal Indonesia.
Demokrasi bukan hanya pesta yang dilakukan 5 tahun sekali. Demokrasi harus dijaga setiap saat. Kembali ke Orde Baru bukan pilihan buat kita semua. Menatap ke depan dengan prinsip keterwakilan dan demokrasi yang sehat lah yang seharusnya menjadi masa depan kita.
Tunjukkan kalau rakyat siap untuk terus mengawasi politik yang terjadi di negeri ini!
-----
Sumber berita untuk analisa diatas:
Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 versi Mei 2014 2014: http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/Naskah%20Kapolri%20RDPU%20Pansus%20RUU%20MD3%2019Mei14.pdf
Naskah terbaru dari Revisi UU MD3 versi 10 Juli 2014 --http://www.parlemen.net/articles/2014/07/11/naskah-rancangan-undang-undang-tentang-mpr-dpr-dpd-dan-dprd-berdasarkan
Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU MD3 di Berita Satu 8 Juli dan Kompas 6 Juli: http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html dan http://nasional.kompas.com/read/2014/07/06/15292091/Revisi.UU.MD3.Dinilai.Persulit.Anggota.DPR.Disentuh.Hukum
Rencana PDIP Mengajukan Revisi UU MD3 untuk Judicial Review
Foto diambil dari detikNews 8 Juli 2014 dengan artikel berjudul "Partai Pengusung Prabowo-Hatta Deklarasi Pembentukan Koalisi Permanen"
***
https://www.change.org/p/tolak-revisi-ruu-md3-ajukan-judicial-review-ke-mahkamah-konstitusi
إرسال تعليق