Ketika Media Tak Lagi Dipercaya

Ketika Media Tak Lagi Dipercaya

Catatan Kaki Jodhi Yudono

Di tengah situasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, dunia media kita diguncang oleh beragam peristiwa. Mulai dari anjloknya beberapa saham media televisi, juga permintaan penutupan atas dua televisi dan teguran kepada beberapa stasiun televisi, berkait-paut dengan tayangan mereka yang tidak obyektif.

Pada Kamis lalu (10/7/14), tersiar kabar tentang anjloknya saham-saham PT Visi Media Asia (VIVA) milik Grup Bakrie yang menaungi TV One dan saham PT Media Nusantara Citra (MNCN) milik Hari Tanoesoedibjo yang membawahi Global TV, MNC TV, dan RCTI.

Diberitakan, merosotnya saham-saham itu disebabkan karena media-media tersebut menyiarkan hitung cepat (quick count) yang memenangkan Prabowo-Hatta Rajasa. Padahal, pada saat yang sama, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melaju kencang pasca-pilpres.

Pada pukul 11.40 hari itu, saham VIVA rontok sebesar 4,85 persen di posisi Rp 255 per saham. Pada saat yang sama, saham MNCN juga terkoreksi lebih dari 4 persen, tepatnya sebesar 4,21 persen menjadi Rp 2.615 per saham.

Kondisi yang sebaliknya justru terjadi pada saham PT Surya Citra Media Tbk yang membawahkan stasiun televisi SCTV. Emiten berkode SCMA ini pada waktu yang sama telah menguat sebesar 3,34 persen menjadi Rp 3.715 per saham.

Benar kata Head of Research Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menyatakan, bahwa bisnis media adalah bisnis kepercayaan.

Jika sebuah media menayangkan informasi yang tidak benar, hal itu akan memengaruhi kelanjutan bisnis dan pendapatan perusahaan.

"Turunnya saham VIVA dan MNCN, bagaimanapun, sangat berkaitan dengan hasil quick count yang dinilai tidak benar, yang memenangkan Prabowo-Hatta Rajasa. Investor paham, itu tidak benar, sehingga mereka memilih melepas saham dua emiten itu," ujarnya saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (10/7/2014).

Sebagaimana diketahui, TV One, MNC TV, Global TV, dan RCTI menayangkan hasil quick count yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Hasil tersebut berkebalikan dengan hasil hitung cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei yang lebih kredibel.

Setidaknya, ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta dalam quick count Pilpres 2014 yang digelar hari ini. Lembaga-lembaga itu adalah Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia.

Sementara itu, ada tujuh lembaga survei yang memenangkan Jokowi-JK, yaitu Populi Center, CSIS, Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, dan Saiful Mujani Research Center.

"Hukuman" itu bukan hanya datang dari dunia usaha, melainkan juga dari masyarakat pemirsa. Lebih dari 22.000 Orang Dukung Petisi Cabut Izin TVOne karena dianggap melakukan pembohongan publik lewat pemberitaannya selama masa pemilihan presiden (pilpres) sehingga memicu dibuatnya petisi untuk menuntut pencabutan izin siaran televisi milik Aburizal Bakrie itu.

Petisi www.change.org/CabutIzinTVOne diinisiasi oleh seorang pemuda asal Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, telah mendulang dukungan lebih dari 22.000 suara hanya dalam tempo dua hari.

"Seruan ini kami lakukan sebagai tanggung jawab warga negara untuk mendapatkan informasi yang sehat dan benar. Untuk itu, kami menyerukan mencabut izin penyiaran TV One karena televisi yang menggunakan frekuensi berjaringan itu terbukti secara sistematis, terencana, sporadis, dan cukup lama menyebarkan kabar bohong, propaganda, dan fitnah yang bisa mengarah kepada perpecahan nasional," kata Kemal dalam petisinya.

“Apa yang dilakukan TV One bukan saja melanggar ketentuan penyiaran, tapi juga penistaan pada prinsip utama pemilu seperti memberikan kabar bohong tentang survei Gallup, membangun opini meresahkan tentang bahaya komunisme yang mendiskreditkan salah seorang kandidat presiden Joko Widodo,” tandasnya.

Permintaan serupa tak cuma dialamatkan kepada TVOne, tetapi juga kepada Metro TV yang dinilai telah menyalahgunakan frekuensi publik. Adalah Koalisi Independen Demokratisasi Penyiaran (KIDP), yang mendesak Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) segera menindaklanjuti rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) mencabut izin penyelenggaraan penyiaran Metro TV dan TV One. Sebab, kedua stasiun televisi itu dianggap menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik peserta Pemilu Presiden 2014.

"Kami mendesak pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo segera merespons rekomendasi KPI agar mengevaluasi bahkan mencabut izin penyelenggaraan penyiaran Metro TV dan TV One yang mempergunakan frekuensi publik," ujar Ketua KIDP yang merupakan perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/7/2014).

Koalisi Independen Demokratisasi Penyiaran (KIDP) meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran kepada RCTI dan Global TV. Kedua televisi itu dinilai kerap melakukan pelanggaran selama masa kampanye pemilu yang lalu.

"KPI harus segera menjatuhkan sanksi yang sama terhadap setidaknya dua lembaga penyiaran, (yaitu) RCTI dan Global TV yang dalam amatan kami terus menerus melakukan pelanggaran," kata Ketua KIDP yang juga merupakan perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/7/2014).

***
Media memang harus berada di tengah. Dia harus menjadi perantara antara peristiwa dengan masyarakat. Secara etimologis, media berasal dari bahasa latin yang artinya jamak, dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.

Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, 2002: 6) . Sebagai penyampai pesan, media hidup dan tumbuh dari fakta-fakta yang dikelolanya menjadi berita atau informasi oleh para jurnalis yang bekerja di perusahaan media. Apa yang terjadi pada hari-hari belakangan di negeri ini, adalah fakta-fakta yang dikelola dengan tidak semestinya oleh perusahaan media yang menyeret serta para jurnalisnya untuk menjadi bagian "penggelapan" fakta karena telah berpihak secara berlebihan terhadap salah satu calon presiden.

Padahal, menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), ada sembilan elemen yang bisa menjaga kredibiltas media dan jurnalisnya sebagai penyampai pesan. Namun, saya kira, di antara sembilan elemen jurnalisme ala Bill Kovach, setidaknya ada dua elemen yang berkait langsung dengan situasi yang sedang kita hadapi saat ini. Yakni, kewajiban pada pencarian kebenaran dan loyalitas pada warga.

Kovach mengatakan, kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. Lantas, macam apakah kebenaran itu sendiri?

Sebagai sebuah kata, kebenaran memang memiliki definisi yang sedemikian luas. Pada tahun 1920, Walter Lippmann menggunakan istilah kebenaran dan berita yang bisa saling dipertukarkan dalam "Liberty and the News". Namun pada 1922, dia menulis begini : "Berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama.... Fungsi berita adalah menandai suatu peristiwa", atau membuat orang sadar akan hal itu. Sementara, "Fungsi kebenaran adalah menerangi fakta-fakta tersembunyi, menghubungkannya satu sama lain, dan membuat sebuah gambaran realitas yang dari titik itu orang bisa bertindak".

Selang 50 tahun, kita sampai pada satu titik di mana beberapa orang menyangkal bahwa ada orang yang bisa meletakkan fakta dalam konteks yang bermakna saat membuat laporan tentang fakta tersebut.

Kesangsian bahwa tak satu kebenaran pun yang bisa dibuktikan dengan mutlak telah menyebar di semua aspek kehidupan intelektual kita, mulai dari seni, sastra, hukum, fisika, bahkan sampai sejarah. Sampai-sampai, sejarawan Colombia University Simon Schama berpendapat bahwa "kepastian kebenaran yang bisa diamati secara seksamadan bisa diverifikasi secara empiris telah mati.

Kebenaran tampaknya terlalu rumit untuk kita kejar. Atau bahkan kebenaran sesungguhnya tidak ada, mengingat kita semua individu yang subyektif.

Lalu kebenaran seperti apa sebetulnya yang dikejar oleh jurnalisme? Kovach menjawab, adalah bentuk kebenaran yang bisa dipraktikan dan fungsional. Ini bukan kebenaran dalam pengertian mutlak atau filosofis, juga bukan kebenarabn ala persamaan kimiawi. Namun jurnalisme bisa--dan harus--mengejar kebenaran di dalam pengertian yang bisa kita jalankan dari hari ke hari.

Bagi saya, kebenaran bisa diterjemahkan menjadi sangat sederhana. Adalah fakta obyektif yang tidak ditambah dan dikurangi.

Pada poin kedua, mengenai loyalitas jurnalisme kepada warga, Bill KOvach mengatakan, "Pengertian bahwa orang-orang yang mencari dan melaporkan berita tak dihalangi saat menggali dan menyampaikan kebenaran--bahkan oleh risiko terganggunya kepentingan bisnis lain dari si pemilik media-- adalah syarat mutlak penyampaian berita, tidak hanya akurat tapi juga persuasif.

Pendek kata, pengumpul berita tidaklah seperti pegawai perusahaan lainnya. Mereka punya kewajiban sosial yang sesekali bisa benar-benar berseberangan dengan kepentingan  utama majikan mereka, sekalipun di sisi lain, kewajiban ini justru merupakan tambang emas si majikan.

Kesetiaan kepada warga adalah sinonim dari yang kita sebut independensi jurnalistik, yang bermakna tidak berat sebelah, ketidakterikatan dan tidak ketidakberpihakan.
***
Sungguh, peristiwa politik sekitar Pilpres 2014 telah memberikan pelajaran yang berharga kepada insan media dan juga bangsa ini. Perusahaan-perusahaan media yang dimiliki oleh mereka yang hanya berlatar bisnis ternyata belum memahami benar bahwa mengelola bisnis media sangat berbeda dengan mengelola bisnis plastik, kain, sabun, dan barang-barang serta jasa lainnya. Produk media adalah informasi yang bersandar pada fakta dan kebenaran agar masyarakat mendapatkan berita yang berimbang dan obyektif. Perusahaan media yang mengaburkan fakta demi tujuan-tujuan pribadi pemilik atau wartawannya, sesungguhnya sedang menggali kuburnya sendiri.


@JodhiY
Source : http://nasional.kompas.com/read/2014/07/14/06243911/Ketika.Media.Tak.Lagi.Dipercaya

Post a Comment

أحدث أقدم