Korban Presiden Pencitraan
Pamor Jokowi runtuh. Setelah pemerintahan dibawah kepemimpinannya, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebuah lembaga survey menyebut merosotnya pamor Jokowi disebabkan mantan gubernur DKI Jakarta ini terlalu terburu-buru saat menaikkan BBM dan belum menjelaskan alasannya. Apalagi kenaikan BBM berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi.
Namun menurut saya, keberanian Jokowi mengambil resiko yang tidak populer ini justru meneguhkan sosok Jokowi sebagai pemimpin jujur dan apa adanya.
Karena dalam kondisi bangsa yang sedang keluar dari krisis utang besar, Jokowi harus jujur. Berani mengatakan kepada 250 juta rakyat Indonesia bahwa negara kita sebenarnya miskin. Pemerintah bisa bangkrut jika dipaksa terus menerus menalangi uang bensin rakyatnya.
Sementara pemerintahan sebelumnya meninggalkan “bom waktu” yang harus jadi beban berat awal pemerintahan Jokowi. Akibat pemborosan anggaran negara untuk “pencitraan”, negara harus menerbitkan surat utang. Dan utang itu bakal jatuh tempo dalam waktu dekat.
Istilah peribahasanya Jokowi tidak menikmati buahnya tapi harus membersihkan getahnya. Apa yang dilakukan Jokowi sekarang ini sebenarnya adalah bagian dari “cuci piring” beban anggaran dan utang pemerintahan sebelumnya.
Kita harus bersyukur karena Tuhan memberi bangsa Indonesia seorang pemimpin tipe pekerja bukan retorik atau pemimpi di awang-awang. Jokowi ditakdirkan jadi presiden bukan untuk ambisi memperkaya harta pribadi, bukan sebagai mesin uang parpolnya. Namun untuk mengabdi kepada rakyat dan menyelamatkan bangsa ini dari kebangkrutan.
Langkah berani Jokowi, semakin mempertegas gambaran dia bukan presiden pencitraan. Dan bukan sosok yang phobia kekuasaan.
Keberanian Jokowi menaikkan harga BBM justru hal biasa menurut saya. Apapun resikonya, Jokowi memang figur yang mengedepankan kejujuran. Ia ingin rakyat tahu tentang kondisi yang dialami bangsa ini.
Jokowi ingin rakyatnya punya mental tangguh menghadapi segala kesulitan hidup. Jika bangsa ini tidak ingin bangkrut rakyatnya harus bekerja keras menciptakan kemandirian. Bukan bergantung subsidi pemerintah yang itu ternyata hanya fatamorgana atau kesejahteraan nisbi.
Realita sesungguhnya. Untuk memanjakan rakyatnya, pemerintah sebelumnya nekat terus menambah utang negara kita. Dan itu menjadi beban berat pemerintahan berikutnya.
Itulah yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Demi sebuah pencitraan positif, pemerintah terus memanjakan kaum birokrat dengan gaji terus naik. Memanjakan rakyat dengan subsidi BBM. Sementara pembangunan ekonomi berorientasi kemandirian swasta mandek. Justru buruh dan pekerja swasta menderita karena kemampuan penghasilan mereka tidak cukup membeli BBM hanya dengan upah rendah.
Dampak dari anggaran dihambur-hamburkan untuk belanja negara. Diantaranya tiap tahun menaikkan gaji PNS, operasional negara digunakan hanya untuk pejabat dan PNS rapat di hotel dan memberikan subsidi BBM terlalu besar. Kini beban utang bangsa kita membengkak hingga 3.000 triliun lebih.
Kini Jokowi harus menanggung beban bom waktu pemerintahan masa lalu. Tapi Jokowi bukan pemimpin yang tidak mampu mencari jalan keluar. Jalan keluarnya adalah mengatakan kepada rakyat secara jujur bahwa bangsa ini bakal bangkrut jika terus dibebani membayari uang bensin sebagian rakyat kelas menengahnya yang memang paling besar mengkonsumsi BBM.
Dan kita harus mengajarkan kepada rakyat kita bahwa problem negeri ini bukan terletak kepada berapa kemahalan harga BBM. Namun sekuat apa kemampuan daya beli rakyat kita.
Artinya pemerintah harus bekerja keras untuk mendorong rakyatnya tidak menganggur. Tapi semuanya kompak mau bekerja keras. Menjadi bangsa yang produktif. Sehingga punya kemampuan membeli BBM dan kebutuhan pokok. Tidak lagi menjadikan harga BBM sebagai kebijakan mendzalimi rakyatnya.
Harga BBM di kawasan Eropa mahal, namun rakyat di benua ini punya kemampuan membeli. Karena mereka punya mental ulet dan bekerja keras mencari penghasilan agar mampu membeli BBM dan tidak hanya sekadar mengemis kepada negara.
Kita terkadang tertawa geli menyaksikan politisi berkoar-koar di publik. Menyatakan pemerintah jokowi tidak pro rakyat, membohongi rakyat dan bermacam bahasa retorika tanpa peduli realita yang terjadi. Lawan politik yang selalu melihat kondisi susah bangsa ini dengan kaca mata lain.
Mudah untuk bicara retorika. Namun sulit untuk mengembalikan kehidupan bangsa ini menjadi normal kembali. Mereka tidak tahu jika pemerintahan Jokowi harus menanggung utang luar negeri 3.000 triliun lebih. Dan pendapatan negara yang makin menurun.
Apakah rakyat akan terus kita tipu dengan bahasa retorika. Ataukah para pemimpin elit itu berlagak tidak tahu dan terus menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Berlagak pandai tapi tidak tahu bahwa negara ini nyaris bangkrut jika tidak hidup dari utang luar negeri. Lantas kapan bangsa kita akan mandiri? Tentu akan diawali dengan perjuangan berat. Saatnya dimulai dengan kejujuran. Kita harus jujur kepada rakyat sepahit apapun resiko yang dihadapi. Jangan sekadar pencitraan tapi tidak jujur…
Source : http://politik.kompasiana.com/2014/11/22/-korban-presiden-pencitraan-688013.html
إرسال تعليق